Langsung ke konten utama

Anti korupsi


ANTI KORUPSI

Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang? Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhananya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).

       Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalui 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini.

       Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Fase Zaman Kerajaan
       Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut.
     Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.
       Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso. Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”.
         Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalamtatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
Fase Zaman Penjajahan
       Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
       Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia.
Fase Zaman Modern

       Seperti yang telah diketahui, pada saat sekarang ini banyak terdapat penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat-pejabat yang ada di Indonesia hanya untuk kepentingan pribadi, keluarga ataupun kelompoknya tanpa memikirkan orang yang ada dibawahnya.


Dampak Korupsi terhadap Ekonomi
       Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects) terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya harga jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan juga sering terjadinya
pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan.  Dampak yang tidak langsung ini umumnya memiliki pengaruh atas langgengnya sebuah kemiskinan.
       Secara sederhana penduduk miskin di wilayah Indonesia dapat dikategorikan dalam dua kategori, yakni  :
1.  Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang bersifat terus menerus;
2. Kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang indikasinya adalah menurunnya pendapatan (income) masyarakat untuk sementara waktu akibat perubahan yang terjadi, semisal terjadinya krisis moneter. Mengingat adanya kemiskinan struktural, maka adalah naif jika kita beranggapan bahwa virus kemiskinan yang menjangkit di tubuh masyarakat adalah buah dari budaya malas dan etos kerja yang rendah (culture of poverty). William Ryan, seorang sosiolog ahli kemiskinan, menyatakan bahwa kemiskinan bukanlah akibat dari berkurangnya semangat wiraswasta, tidak memiliki hasrat berprestasi, fatalis.  Pendekatan ini dapat disebut sebagai blaming the victim (menyalahkan korban).
       Pada tahun 2000-2001, the Partnership for Governanve Reform in Indonesia andthe World Bank telah melaksanakan proyek “Corruption and the Porr”. Proyek ini memotret wilayah permukiman kumuh di Makassar, Yogyakarta, dan Jakarta. Tujuannya ingin menjelaskan bagaimana korupsi mempengaruhi kemiskinan kota. Dengan mengaplikasikan suatu metode the Participatory Corruption assessment (PCA), di setiap lokasi penelitian, tim proyek melakukan diskusi bersama 30-40 orang miskin mengenai pengalaman mereka bersentuhan dengan korupsi.  Kegiatan ini juga diikuti dengan wawancara perseorangan secara mendalam untuk mengetahui dimana dan bagaimana korupsi memiliki pengaruh atas diri mereka. Sebuah wawasan dan pemahaman yang holistik tentang pengaruh korupsi terhadap kehidupan sosial orang miskin pun didapat.
       Para partisipan program PCA ini mengidentifikasi empat risiko tinggi korupsi, yakni  :
1.Ongkos finansial (financial cost)
Korupsi telah menggerogoti budget ketat yang tersedia dan meletakkan beban yang lebih berat ke pundak orang miskin dibandingkan dengan si kaya.
2. Modal manusia (human capital)
Korupsi merintangi akses pada efektivitas jasa pelayanan sosial termasuk sekolah, pelayanan kesehatan, skema subsidi makanan, pengumpulan sampah, yang kesemuanya berpengaruh pada kesehatan orang miskin dan keahliannya.
3. Kehancuran moral (moral decay)
Korupsi merupakan pengingkaran dan pelanggaran atas hukum yang berlaku (the rule law) untuk meneguhkan suatu budaya korupsi (culture of corruption)
4. Hancurnya modal sosial (loss of social capital)
Korupsi mengikis kepercayaan dan memberangus hubungan serta memporakporandakan kohesifitas komunitas.
2. Dampak Sosial dan kemiskinan masyarakat
       Korupsi tidak diragukan dalam menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat.
1.Menurut Alatas, melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai oraganisasi negara dan mencapai kehormatan.  Di India, para penyelundup yang populer sukses menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan penting. Bahkan, di Amerika Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan proteksi kepada organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup.  Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.
2. Menurut Transparensy International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika angka korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) juga meningkat.  Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat.
3. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat.  Memang secara ideal, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan masyarakat sudah memadai.
3. Dampak terhadap politik dan Demokrasi
      Negara kita sering disebut bureaucratic polity.  Birokrasi pemerintah merupakan sebuah kekuatan besar yang sangat berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.  Selain itu, birokrasi pemerintah juga merupakan garda depan yang berhubungan dengan pelayanan umum kepada masyarakat.  Namun di sisi lain, birokrasi sebagai pelaku roda pemerintahan merupakan kelompok yang rentan terhadap jerat korupsi.
        Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara.  Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di tanah air seolah menjunjung tinggi pameo “jika bisa dibuat sulit, mengapa harus dipermudah”.  Semakin tidak efisien birokrasi bekerja, semakin besar pembiayaan tidak sah atas institusi negara ini.  Sikap masa bodoh birokrat pun akan melahirkan berbagai masalah yang tidak terhitung banyaknya.  Singkatnya, korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi.
       Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum  :  yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri.  Korupsi tidak saja terbatas pada transaksi yang korup yang dilakukan dengan sengaja oleh dua pihak atau lebih, melainkan juga meliputi berbagai akibat dari perilaku yang korup, homo venalis.
Transparency International (TI), sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam upaya antikorupsi, membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu  :
1.Korupsi administratif
Secara administratif, korupsi bisa dilakukan “sesuai dengan hukum”, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang “bertentangan dengan hukum” yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan. Di tanah air, jenis korupsi administratif berwujud uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM), akte lahir, dan paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal, seharusnya tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat.
2. Korupsi politik
Jenis korupsi politik muncul dalam bentuk “uang damai”.  Misalnya, uang yang diberikan dalam kasus pelanggaran lalu lintas agar si pelanggar tidak perlu ke pengadilan.
Manajemen kerja birokrasi yang efisien sungguh merupakan barang yang langka di tanah air.  Menurut HS. Dillon, birokrasi hanya dapat digerakkan oleh politikus yang berkeahlian dalam bidangnya. Bukan sekedar pejabat yang direkrut dari kalangan profesi atau akademikus tanpa pengalaman dan pemahaman tentang kerumitan birokrasi.
4. Dampak terhadap briokrasi Pemerintahan
       Korupsi, tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu sistem politik atau pemerintahan.
1.Pertama, korupsi mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Pada dasarnya, isu korupsi lebih sering bersifat personal. Namun, dalam manifestasinya yang lebih luas, dampak korupsi tidak saja bersifat personal, melainkan juga dapat mencoreng kredibilitas organisasi tempat si koruptor bekerja.  Pada tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat sosial. Korupsi yang berdampak sosial sering bersifat samar, dibandingkan dengan dampak korupsi terhadap organisasi yang lebih nyata.
2. Kedua, publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang diduga terkait dengan tindak korupsi.
3. Ketiga, lembaga politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga politik telah dikorupsi untuk kepentingan yang sempit (vested interest). Sering terdengar tuduhan umum dari kalangan anti-neoliberalis bahwa lembaga multinasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IF, dan Bank Dunia adalah perpanjangan kepentingan kaum kapitalis dan para hegemoni global yang ingin mencaplok politik dunia di satu tangan raksasa. Tuduhan seperti ini sangat mungkin menimpa pejabat publik yang memperalat suatu lembaga politik untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam kasus seperti ini, kehadiran masyarkat sipil yang berdaya dan supremasi hukum yang kuat dapat meminimalisir terjadinya praktik korupsi yang merajalela di masyarakat.
       Sementara itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintah, sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut  :
1.  Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi,
2.  Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,
3.  Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
       Dengan demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih, koruptor sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk kegiatan korupsi semata-mata.  Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi rakyat.
5. Dampak terhadap kerusakan lingkungan
       Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap berbagai tindakan pemerintah. Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu memberi pelayanan terbaik bagi warganya, maka rasa hormat rakyat dengan sendirinya akan luntur. Jika pemerintahan justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust  (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintahan. Karenanya, praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan masyarakat.



Korupsi di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
Kerugian keuntungan Negara
Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
Penggelapan dalam jabatan
Pemerasan
Perbuatan curang
Benturan kepentingan dalam pengadaan
Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).



Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia ialah:
Proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada.
Institusi-institusi politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
Selalu muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di antara mereka yang tidak mampu.
Mereka hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”.
Sebagai akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :
Partai politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
Muncul pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an umum.
Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
Terjadi erosi loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
Sumber kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat).
Lembaga-lembaga politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang politik dan ekonomi-bisnis.
Kesempatan korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan hirarki politik kekuasaan.



Mewujudkan keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di keluarkan berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa Agung Dan kapolri:
Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Langkag – langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan pada :
Mendesain ulang layanan publik .
Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.



Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan mewujudkan good governance.
Membangun kepercayaan masyarakat.
Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.



Edit By: Satria

Komentar