Korupsi berasal dari kata latin Corrumpere, Corruptio, atau Corruptus. Arti harfiah dari kata tersebut adalah penyimpangan dari kesucian (Profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran atau kecurangan. Dengan demikian korupsi memiliki konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah atau hal-hal buruk lainnya. Bahasa Eropa Barat kemudian mengadopsi kata ini dengan sedikit modifikasi; Inggris : Corrupt, Corruption; Perancis : Corruption; Belanda : Korruptie. Dan akhirnya dari bahasa Belanda terdapat penyesuaian ke istilah Indonesia menjadi Korupsi.
Kumorotomo (1992 : 175), berpendapat bahwa “korupsi adalah penyelewengan tanggung jawab kepada masyarakat, dan secara faktual korupsi dapat berbentuk penggelapan, kecurangan atau manipulasi”. Lebih lanjut Kumorotomo mengemukakan bahwa korupsi mempunyai karakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence) dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan penyembunyian suatu kenyataan (concealment).Selain pengertian di atas, terdapat pula istilah-istilah yang lebih merujuk kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft), merujuk kepada pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain. Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai permintaan setengah memaksa atas hadiah-hadiah tersebut dalam pelaksanaan tugas-tugas Negara. Kecuali itu, ada istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan yang merugikan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu penyimpangan atau pelanggaran. Di mana norma soisal, norma hukum maupun norma etika pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.
Dalam
konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan
membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang
menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu,
korupsi telah menjadi barang bergengsi yang jika tidak dilakukan, maka akan
membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan,
akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa
untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak
masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum
untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam
kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?
Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi
di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di
Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau
sederhananya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di
Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum
bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang
melalui 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga
zaman modern seperti sekarang ini.
Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Fase
Zaman Kerajaan
Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar
belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur
sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno,
seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan
kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya
diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran
kerajaan-kerajaan tersebut.
Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara
perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut
kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa
Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit
yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada
pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.
Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang
saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha
Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara
Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan
Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri yaitu Sultan Ageng
Tirtoyoso. Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah mulai
terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah
posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi
dalem”.
Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung
selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula
yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga
memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalamtatanan pemerintahan
kita dikmudian hari.
Fase
Zaman Penjajahan
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke
dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun
oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya
korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan
badut politik oleh penjajah untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu,
semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan
pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah
Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau
pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan
menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film
semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk
menggambarkan situasi masyarakat Indonesia.
Fase
Zaman Modern
Seperti yang telah diketahui, pada saat sekarang ini banyak terdapat
penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat-pejabat yang ada di Indonesia hanya
untuk kepentingan pribadi, keluarga ataupun kelompoknya tanpa memikirkan orang
yang ada dibawahnya.
Dampak
Korupsi terhadap Ekonomi
Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous
destruction effects) terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling
bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang
miskin yakni semakin mahalnya harga jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya
kualitas pelayanan, dan juga sering terjadinya
pembatasan
akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya
milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya
diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan
pembangunan. Dampak yang tidak langsung ini umumnya memiliki pengaruh
atas langgengnya sebuah kemiskinan.
Secara sederhana penduduk miskin di wilayah Indonesia dapat dikategorikan dalam
dua kategori, yakni :
1.
Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang
bersifat terus menerus;
2.
Kemiskinan sementara (transient poverty), yaitu kemiskinan yang
indikasinya adalah menurunnya pendapatan (income) masyarakat untuk
sementara waktu akibat perubahan yang terjadi, semisal terjadinya krisis
moneter. Mengingat adanya kemiskinan struktural, maka adalah naif jika kita
beranggapan bahwa virus kemiskinan yang menjangkit di tubuh masyarakat adalah
buah dari budaya malas dan etos kerja yang rendah (culture of poverty).
William Ryan, seorang sosiolog ahli kemiskinan, menyatakan bahwa kemiskinan
bukanlah akibat dari berkurangnya semangat wiraswasta, tidak memiliki hasrat
berprestasi, fatalis. Pendekatan ini dapat disebut sebagai blaming
the victim (menyalahkan korban).
Pada tahun 2000-2001, the Partnership for Governanve Reform in
Indonesia andthe World Bank telah melaksanakan
proyek “Corruption and the Porr”. Proyek ini memotret wilayah
permukiman kumuh di Makassar, Yogyakarta, dan Jakarta. Tujuannya ingin
menjelaskan bagaimana korupsi mempengaruhi kemiskinan kota. Dengan
mengaplikasikan suatu metode the Participatory Corruption assessment (PCA),
di setiap lokasi penelitian, tim proyek melakukan diskusi bersama 30-40 orang
miskin mengenai pengalaman mereka bersentuhan dengan korupsi. Kegiatan
ini juga diikuti dengan wawancara perseorangan secara mendalam untuk mengetahui
dimana dan bagaimana korupsi memiliki pengaruh atas diri mereka. Sebuah wawasan
dan pemahaman yang holistik tentang pengaruh korupsi terhadap kehidupan sosial
orang miskin pun didapat.
Para partisipan program PCA ini mengidentifikasi empat risiko tinggi korupsi,
yakni :
1.Ongkos
finansial (financial cost)
Korupsi
telah menggerogoti budget ketat yang tersedia dan meletakkan
beban yang lebih berat ke pundak orang miskin dibandingkan dengan si kaya.
2.
Modal manusia (human capital)
Korupsi
merintangi akses pada efektivitas jasa pelayanan sosial termasuk sekolah,
pelayanan kesehatan, skema subsidi makanan, pengumpulan sampah, yang kesemuanya
berpengaruh pada kesehatan orang miskin dan keahliannya.
3.
Kehancuran moral (moral decay)
Korupsi
merupakan pengingkaran dan pelanggaran atas hukum yang berlaku (the rule law)
untuk meneguhkan suatu budaya korupsi (culture of corruption)
4.
Hancurnya modal sosial (loss of social capital)
Korupsi
mengikis kepercayaan dan memberangus hubungan serta memporakporandakan
kohesifitas komunitas.
2.
Dampak Sosial dan kemiskinan masyarakat
Korupsi tidak diragukan dalam menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam
masyarakat.
1.Menurut
Alatas, melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan
dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai oraganisasi negara dan
mencapai kehormatan. Di India, para penyelundup yang populer sukses
menyusup ke dalam tubuh partai dan memangku jabatan penting. Bahkan, di Amerika
Serikat, melalui suap, polisi korup menyediakan proteksi kepada
organisasi-organisasi kejahatan dengan pemerintahan yang korup. Semakin
tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan.
2.
Menurut Transparensy International, terdapat pertalian erat antara jumlah
korupsi dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka
angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika angka korupsi
berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law
enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi
dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat.
3.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum di suatu negara selain
tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan
prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyarakat. Memang secara
ideal, angka kejahatan akan berkurang jika timbul kesadaran masyarakat (marginal
detterence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan
kesejahteraan masyarakat sudah memadai.
3.
Dampak terhadap politik dan Demokrasi
Negara kita sering disebut bureaucratic polity.
Birokrasi pemerintah merupakan sebuah kekuatan besar yang sangat
berpengaruh terhadap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Selain itu, birokrasi pemerintah juga merupakan garda depan yang berhubungan
dengan pelayanan umum kepada masyarakat. Namun di sisi lain, birokrasi
sebagai pelaku roda pemerintahan merupakan kelompok yang rentan terhadap jerat
korupsi.
Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung
negara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di tanah air seolah
menjunjung tinggi pameo “jika bisa dibuat sulit, mengapa harus
dipermudah”. Semakin tidak efisien birokrasi bekerja, semakin besar
pembiayaan tidak sah atas institusi negara ini. Sikap masa bodoh birokrat
pun akan melahirkan berbagai masalah yang tidak terhitung banyaknya.
Singkatnya, korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh di dalam
birokrasi.
Korupsi dalam birokrasi dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum
: yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka
sendiri. Korupsi tidak saja terbatas pada transaksi yang korup yang
dilakukan dengan sengaja oleh dua pihak atau lebih, melainkan juga meliputi
berbagai akibat dari perilaku yang korup, homo venalis.
Transparency
International (TI), sebagai lembaga internasional yang bergerak dalam upaya
antikorupsi, membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis,
yaitu :
1.Korupsi
administratif
Secara
administratif, korupsi bisa dilakukan “sesuai dengan hukum”, yaitu meminta
imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang
“bertentangan dengan hukum” yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan
pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan. Di tanah air, jenis korupsi
administratif berwujud uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat,
seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Ijin Mengemudi (SIM), akte lahir, dan
paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal, seharusnya tanpa uang pelicin
surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat.
2.
Korupsi politik
Jenis
korupsi politik muncul dalam bentuk “uang damai”. Misalnya, uang yang
diberikan dalam kasus pelanggaran lalu lintas agar si pelanggar tidak perlu ke
pengadilan.
Manajemen
kerja birokrasi yang efisien sungguh merupakan barang yang langka di tanah
air. Menurut HS. Dillon, birokrasi hanya dapat digerakkan oleh politikus
yang berkeahlian dalam bidangnya. Bukan sekedar pejabat yang direkrut dari
kalangan profesi atau akademikus tanpa pengalaman dan pemahaman tentang
kerumitan birokrasi.
4.
Dampak terhadap briokrasi Pemerintahan
Korupsi, tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu
sistem politik atau pemerintahan.
1.Pertama,
korupsi mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Pada dasarnya, isu
korupsi lebih sering bersifat personal. Namun, dalam manifestasinya yang lebih
luas, dampak korupsi tidak saja bersifat personal, melainkan juga dapat
mencoreng kredibilitas organisasi tempat si koruptor bekerja. Pada
tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat sosial. Korupsi yang berdampak sosial
sering bersifat samar, dibandingkan dengan dampak korupsi terhadap organisasi
yang lebih nyata.
2.
Kedua, publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga yang
diduga terkait dengan tindak korupsi.
3.
Ketiga, lembaga politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai
kepentingan pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga politik
telah dikorupsi untuk kepentingan yang sempit (vested interest). Sering
terdengar tuduhan umum dari kalangan anti-neoliberalis bahwa lembaga
multinasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IF, dan Bank Dunia
adalah perpanjangan kepentingan kaum kapitalis dan para hegemoni global yang
ingin mencaplok politik dunia di satu tangan raksasa. Tuduhan seperti ini
sangat mungkin menimpa pejabat publik yang memperalat suatu lembaga politik
untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam kasus seperti ini, kehadiran
masyarkat sipil yang berdaya dan supremasi hukum yang kuat dapat meminimalisir
terjadinya praktik korupsi yang merajalela di masyarakat.
Sementara itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintah,
sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi,
2. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,
3. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
2. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan aset,
3. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
Dengan demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan
mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih, koruptor
sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya tergerus untuk
kegiatan korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat
orang tersebut kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya menimbulkan bencana bagi
rakyat.
5.
Dampak terhadap kerusakan lingkungan
Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan kredibilitas
pemerintah yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
berbagai tindakan pemerintah. Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu memberi
pelayanan terbaik bagi warganya, maka rasa hormat rakyat dengan sendirinya akan
luntur. Jika pemerintahan justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula
unsur hormat dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada
pemerintahan. Karenanya, praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi
di kalangan masyarakat.
Korupsi
di Indonsia dimulai sejak era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat
mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24
Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan
Tim Pemberantasan Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967
yang dipimpin langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada
era Orde Baru, muncul Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi
Tertib”yang dilakukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib), namun dengan kemajuan iptek, modus operandi korupsi semakin
canggih dan rumit sehingga Undang-Undang tersebut gagal dilaksanakan.
Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya
hukum yang telah dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan
sistematis. Namun korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat
negara mengalami krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang
pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang
menumbangkan rezim Orde Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum
dan pemberantasan Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut
akhirnya dituangkan di dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 &
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih
& Bebas dari KKN.
Menurut
UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga
puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun
secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
Kerugian
keuntungan Negara
Suap-menyuap
(istilah lain : sogokan atau pelicin)
Penggelapan
dalam jabatan
Pemerasan
Perbuatan
curang
Benturan
kepentingan dalam pengadaan
Gratifikasi
(istilah lain : pemberian hadiah).
Fenomena
umum yang biasanya terjadi di negara berkembang contohnya Indonesia ialah:
Proses
modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada
lembaga-lembaga politik yang ada.
Institusi-institusi
politik yang ada masih lemah disebabkan oleh mudahnya “ok-num” lembaga tersebut
dipengaruhi oleh kekuatan bisnis/ekonomi, sosial, keaga-maan, kedaerahan,
kesukuan, dan profesi serta kekuatan asing lainnya.
Selalu
muncul kelompok sosial baru yang ingin berpolitik, namun sebenarnya banyak di
antara mereka yang tidak mampu.
Mereka
hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih
“kepentingan rakyat”.
Sebagai
akibatnya, terjadilah runtutan peristiwa sebagai berikut :
Partai
politik sering inkonsisten, artinya pendirian dan ideologinya sering
beru-bah-ubah sesuai dengan kepentingan politik saat itu.
Muncul
pemimpin yang mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepenting-an umum.
Sebagai
oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya berlomba-lomba mencari
keuntungan materil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat.
Terjadi erosi
loyalitas kepada negara karena menonjolkan pemupukan harta dan
kekuasaan. Dimulailah pola tingkah para korup.
Sumber
kekuasaan dan ekonomi mulai terkonsentrasi pada beberapa kelompok kecil yang
mengusainya saja. Derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat
besar (rakyat).
Lembaga-lembaga
politik digunakan sebagai dwi aliansi, yaitu sebagai sektor di bidang politik
dan ekonomi-bisnis.
Kesempatan
korupsi lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya ja-batan dan
hirarki politik kekuasaan.
Mewujudkan
keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di keluarkan
berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB
pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan
instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi,
yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa Agung Dan kapolri:
Mengoptimalkan
upaya – upaya penyidikan/Penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk
menghukum pelaku dan menelamatkan uang negara.
Mencegan
& memberikan sanksi tegas terhadap penyalah gunaan wewenang yg di lakukan
oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota polri dalam rangka penegakan hukum.
Meningkatkan
Kerjasama antara kejaksaan dgn kepolisian Negara RI, selain denagan
BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang terkait denagn upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
Kebijakan
selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi
(RAN-PK) 2004-2009. Langkag – langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan
pada :
Mendesain
ulang layanan publik .
Memperkuat
transparasi, pengawasan, dan sanksi pada kegiatan pemerintah yg berhubungan
Ekonomi dan sumber daya manusia.
Meningkatkan
pemberdayaan pangkat – pangkat pendukung dalam pencegahan korupsi.
Partisipasi
dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya
pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK
yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi
“martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun
agenda KPK adalah sebagai berikut :
Membangun
kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.
Mendorong
pemerintah melakukan reformasi public sector dengan
mewujudkan good governance.
Membangun
kepercayaan masyarakat.
Mewujudkan
keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.
Memacu
aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
Edit By: Satria
Komentar
Posting Komentar